Kedekatanku dengan Fizkar kian erat.
Bahkan, kini setiap pulang sekolah aku
bisa lebih sore dibandingkan Aris.
Apalagi yang kulakukan kalau bukan
berduaan dengan Fizkar? Mengobrol di
beberapa sudut sekolah, berjalan-jalan
ke toko kaset, toko buku, atau pasar
loak. Aku juga sudah beberapa kali
diajak ke rumah pamannya. Namun,
lebih sering dia yang ke rumahku
karena keadaan rumahku lebih sepi.
Selama kedekatan itu sayangnya
belum pernah terjadi sesuatu yang
sangat aku harapkan. Menikmati
kehangatan dan kejantanan kontol
Fizkar!
“Toro ... kamu sudah mendengar berita
terbaru tentang Fizkar?” tanya Aris
berbisik. Aku menautkan alisku. Aku
selalu bersama Fizkar dan sampai saat
ini keadaanku baik-baik saja. Bahkan,
kurasakan jauh lebih baik daripada
kehidupanku sebelumnya yang sunyi.
“Tentang apa?” balasku bertanya.
“Berita yang aku dengar kemarin
menyebutkan bahwa Fizkar pernah
menjadi selingkuhan Mamanya Doni,
anak kelas II Sosial 4 ...!” Hah! Sadis
sekali berita itu!
“Sepertinya siswa-siswa di sekolah kita
mempunyai bakat yang besar untuk
menjadi pekerja-pekerja infotainment,
deh! Biang gosip semua!” cibirku.
“Kamu bisa klarifikasi ke Fizkar, Ro!
Aku juga nyaris tidak mempercayai
berita tersebut ...” kata Aris ragu.
“Nyaris?” aku mempertanyakan
ucapannya.
“Ya! Doni sendiri membenarkan cerita
itu. Ia pernah memergoki mereka. Saat
itu Fizkar belum masuk sekolah kita.
Kini orang tua Doni bercerai. Dan ...
Doni akan membuat perhitungan
dengan Fizkar ...!” Aris kembali berbisik.
Benarkah? Fizkar merusak rumah
tangga orang? Aku akan coba mencari
tahu kebenaran cerita tersebut ...
Di kamarku sepulang sekolah ...
Aris masih sibuk dengan kegiatan
tambahannya. Fizkar berbaring di
sisiku. Ia bertelanjang dada. Kekar
sekali. Khas lelaki maskulin.
“Kamu sudah mendengar berita terbaru
di sekolah, Fiz?” tanyaku hati-hati.
“Gosip?” ejeknya.
“Tentang kamu, lho!” rajukku. Kuusap
dadanya yang bidang dengan lembut.
Fizkar tidak keberatan aku menyentuh
bagian-bagian tubuhnya yang semua
kukagumi, kecuali satu. Kontolnya ...
“Ya ... tetapi aku tidak mau percaya
begitu saja ...” jelasku. Aku ingin ia
nyaman bersamaku.
“Masalah apa?” tanyanya penasaran.
Kutatap matanya. Si jantan bermata
elang ini meredupkan matanya. Ia
ingin meyakinkan bahwa aku dapat
menceritakan berita itu dengan
nyaman. Tak ada ancaman.
“Kamu pernah menjadi selingkuhan?”
pancingku. Akh, dadaku berdebar.
Fizkar menghela nafas. Ia tidak
langsung menjawab pertanyaanku. Ia
mengambil posisi duduk bersandar di
atas tempat tidurku.
“Tante Yosie menjebak gue ...”
desahnya, “Kami bertemu di sebuah
warung bakso. Waktu itu gue lagi
bolos sekolah. Kami mengobrol. Ia
menawarkan minuman yang sudah
ditaburi serbuk obat. Supaya tidak
depresi katanya. Gue yang memang
lagi banyak masalah tidak
menolaknya. Kami terus berbicara.
Pembicaraan mulai menjurus ke hal-hal
yang berbau seks. Gue sange’. Ngaceng
berat. Obat perangsang itu sudah
bekerja. Tante Yosie membawa gue ke
rumahnya. Gue tidak bisa menolak
ajakannya. Kontol gue benar-benar
tidak bisa diajak kompromi ...”
“Terus ...” aku penasaran.
Keingintahuanku berbaur dengan
rangsangan. Ini cerita tentang
petualangan kontol Fizkar!
“Gue entot dia berkali-kali. Gue heran,
kontol gue ngaceng terus. Apalagi
Tante Yosie terus memutarkan bokep.
Hingga kami lupa waktu. Doni pulang.
Dia tidak melihat persetubuhan itu.
Namun, saat gue diantar mamanya ke
depan pintu gerbang dia melihat gue.
Gue yakin dia sudah bisa
menyimpulkan sesuatu yang terjadi
antara gue dengan mamanya ...”
“Terus? ...” cecarku lagi. Kali ini benar-
benar penasaran.
“Beberapa hari kemudian gue dijemput
polisi dari sekolah. Di kantor polisi
sudah menunggu Tante Yosie dan
suaminya, papanya Doni. Gue tidak
tahu posisi gue sebagai apa. Gue
mengakui perbuatan gue dan Tante
Yosie. Namun, gue tidak menceritakan
masalah obat perangsang itu. Lagi-lagi
gue malu. Gue rasa orang lain tidak
perlu mengetahui kebodohan gue!
Tante Yosie tidak berkata apa-apa saat
suaminya mengatakan cerai.Gue
sendiri langsung dipindahkan paman
gue setelah pembagian rapor. Itu juga
karena tekanan dari pihak sekolah.
Namun, sebelum pindah paman gue
minta supaya gue dinyatakan naik dan
masuk program Fisika. Dia berharap
gue bisa berada di lingkungan belajar
yang serius.”
“Jadi benar ...” gumamku seolah-olah
tidak percaya.
“Sekarang terserah elo, Ro! Elo mau
membenci gue seperti yang lain
silahkan! Gue sadar, gue bukan orang
yang pantas dibela dan dipercayai ...”
pasrah kudengar kata-kata Fizkar.
“Kamu dijebak, Fiz! Kalau dalam
keadaan sadar kamu pasti tidak akan
melakukannya ... mungkin ...” hiburku
ragu. Fizkar tidak menginginkannya?
“Nafsu gue besar, Ro! Namun, tidak
sebesar rasa kebencian dan
kemarahan gue pada orang-orang di
sekitar gue. Yang jelas, tanpa obat
perangsang itu pun gue tetap akan
ngentot dengan Tante Yosie. Gue akan
buktikan bahwa kontol gue yang selalu
jadi bahan pelecehan mampu
menaklukkan nafsu keperempuanan
dan kejalangannya!” Wajah Fizkar
mengeras. Api berkobar-kobar di
matanya yang tajam. Bukan nafsu
seks yang membuatnya melakukan itu!
Kebencian!
“Maaf, aku hanya bermaksud mencari
kejelasan dari kamu ...” ucapku lirih.
“Gue bukan perjaka lagi, Ro! ... Elo
masih menginginkannya?” Fizkar
meletakkan tanganku di atas
kontolnya. Besar sekali! Padahal belum
ngaceng! Glekk ... aku malu
menjawabnya. Kontol Paman Arjo
yang sudah bertahun-tahun
dimasukkan ke istrinya saja aku
sangat bernafsu, apalagi kontol Fizkar
yang baru dipakai beberapa kali ke
Tante Yosie?
Aku usap perlahan benda pribadi Fizkar
itu.
“Isep, Ro!” sebuah perintah sekaligus
bentuk pembolehan. Kini saatnya!
Kuraih batang bulat panjang yang
besar dan mulai menegang itu.
Kuciumi. Kusapukan lidahku ke seluruh
bagian dan lekuk-lekuknya. Kepalanya.
Lingkar cincinnya. Batangnya yang
panjang penuh ukiran ototnya. Kedua
benda bulat yang menggantung
menggairahkan. Segar! Kusibak
rerimbunan hitam di pangkal kemaluan
Fizkar. Kuhisap batang kontolnya.
Kupijat dengan lingkar mulutku. Kujilati
penuh nafsu. Fizkar berulang
mendesah. Sesekali mengelepar saat
ku sentuh perbatasan zakar dan
duburnya dengan ujung lidahku.
“Terus, Ro! Sampai keluar!” pintanya.
Hampir setengah jam aku memuluti
kontolnya. Belum pernah aku mengoral
kontol selama itu. Mulutku mulai pegal.
Kulepas batang hitam membara itu dari
mulutku. Kuraih dengan tanganku.
Kukocok perlahan. Terus. Ritme
kocokan agak kupercepat. Terus. Lebih
cepat lagi. Terus. Semakin cepat ...
“Aaaarrrggghhh ....!” CROTTTT ...
CROTTT ... CROTT ... CROT ...
Hening.
“Enak, Fiz?” tanyaku manja. Fizkar
tersenyum. Manis sekali. Diraihnya
kepalaku ke arahnya. Diciuminya bibir
dan seluruh wajahku.
“Terima kasih, Ro!” bisiknya di belakang
telingaku menggelitik. Geli. “Mau lagi?”
pertanyaan atau permintaan?
“Nggak capek?” tanyaku lugu. Ia
tersenyum lagi. Ia pagut bibir dan
lidahku bergantian seraya melepaskan
pakaianku. Kami kini sama-sama
telanjang.
“Elo kan belum gue keluarin ...”
tangannya meremas halus kontol
kecilku. Ouch! Nikmatnya berada
dalam genggaman tangan kekar itu ...
Fizkar menindihku. Dia mengangkat
kakiku dan merentangkannya. Ohh,
jangan ...
“Gue bikin elo lebih enak lagi ...” ia
ludahi lubang anusku. Ia arahkan
kontolnya yang sudah kembali
ngaceng ke duburku. JANGAAAAN!
Aku teringat kejadian di toilet itu. Sakit
sekali! Padahal Hendra hanya
memasukkannya sekali dan sebentar.
Kali ini pasti akan lama ... Apalagi
kontol Fizkar jauh lebih besar dan
panjang ...
“Rileks, Ro!” Fizkar menyadari kalau
aku ketakutan. Tubuhku gemetar
hebat. Fizkar menghentikan
serangannya. Keringat dingin mengucur
di tubuhku. Aku pucat.
“Elo sakit, Ro?” tanya Fizkar khawatir.
Dia usapkan tangan ke dahiku.
“Aku takut sakit, Fiz ... Kontol kamu
besar sekali ...” aku memelas. Mudah-
mudahan Fizkar tidak kecewa.
“Pelan-pelan ...” bisiknya
menenangkan.
“Kalau sakit, berhenti ya! Jangan
diteruskan ... “ pintaku memohon. Ia
mengangguk. Ia ciumi leherku dan
memilin lembut putingku. Aku
terangsang sekali. Kurasakan kontol
Fizkar kembali mengarah ke duburku.
Kubiarkan.
“Sakit ...?” tanya Fizkar memastikan.
Aku menggeleng. Kontol Fizkar baru
menekan. Belum bisa masuk. Kucoba
pasrah. Aku ingin Fizkar menikmati
lubang yang kumiliki.
“Pelan, Fiz ...” pintaku. Lubangku terasa
tersingkap. Benda keras hangat itu
telah menembus meskipun baru
sedikit. Aku tahan rasa sakitku. Lubang
anusku terlalu kecil untuk kontol Fizkar
yang dahsyat itu.
“Terusin tidak, Ro? ...” Fizkar meminta
kepastian. Baru kepala kontolnya yang
masuk Air mataku sudah meleleh. Air
mata kesakitan ...
Aku peluk leher Fizkar. Kusembunyikan
segala rasa sakit itu.
“Terus, Fiz ... aku sangat ingin ...”
kuciumi leher dan telinganya yang
berkeringat maskulin. Kontol itu
semakin menembus. Terus, Fiz! Biar aku
kesakitan yang penting kamu
menikmatinya. Terus kusembunyikan
wajahku yang penuh rasa kesakitan di
lehernya. Kuacak-acak rambut keriting
Fizkar yang pendek.
“Ro! Sudah masuk semua ...!” www.ceritagay.uiwap.com wajah
Fizkar tersenyum bahagia. Ada
kebanggaan di sorot matanya.
Kontolnya yang besar mampu
menaklukkan duburku yang sempit.
Aku juga tak percaya. Namun, aku
merasakan pantatku penuh sekali ...
juga hangat! Aku tidak bisa
menyembunyikan senyumku. Kudorong
tubuhnya sambil kuremas dada dan
perutnya yang datar kencang.
“Entot pelan-pelan, ya? Biar enak ...”
pintaku binal. Fizkar tidak menyahuti
ucapanku. Hanya pantatnya yang maju
mundur dengan penuh perasaan. Aku
berusaha menjepit dan memijat
batang yang keluar masuk itu dengan
otot pelepasanku. Fizkar membuka
mulutnya. Mendesah penuh
kenikmatan! Aaarrgghh ...
Kontol itu terus mengaduk-aduk liang
belakang kenikmatanku. Kadang
perlahan kadang memacu. Dua kali
aku ejakulasi.
Dan aku tak ingin itu terhenti!
www.ceritagay.uiwap.com